KESAMAAN NAMA ATAU TEMPAT HANYALAH KEBETULAN BELAKA

Sabtu, September 08, 2012

Sengsara Membawa Nikmat ( Senjata Hidup )

TIDAK lama antaranya, perkelahian Kacak dengan Midun sudah tersiar ke seluruh kampung. Di lepau-lepau nasi dan pada tiaptiap rumah, orang memperkatakan perkelahian itu saja. Percakapan itu hanyak pula yang dilebih-lebihi orang. Yang sejengkal sudah menjadi sehasta. Dari seorang makin bertambah-tambah jua. Ada yang mengatakan, Kacak amat payah dalam perkelahian itu, sehingga minta-minta air. Ada pula yang berkata, Midun minta ampun, sebab takut kepada Tuanku Laras, mamak si Kacak. Berbagai-bagailah perkataan
orang, ada yang begini, ada pula yang begitu, semau-maunya saja, akan mempertahankan orang yang disukai dan dikasihinya. Anak-anak lebih-lebih lagi. Mereka itu berlari-lari pulang
akan memberitahukan apa yang telah terjadi di pasar hari itu. Baru saja sampai di rumah, dengan terengah-engah karena lelah berlari, ia menceritakan perkelahian itu kepada ibu dan
adiknya. Ada pula yang menjadikan pertengkaran dan perkelahian kepada mereka itu, ketika mempercakapkan hal itu dengan teman-temannya. Sebabnya, ialah karena anak-anak murid Midun mengaji mengatakan, gurunya yang menang. Tetapi yang bukan murid mengatakan Kacak yang berani. Belum lagi terbenam matahari, mereka itu sudah datang ke surau. Di halaman surau mereka itu duduk berkelompok-kelompok mempercakapkan keberanian gurunya. Kadang-kadang ucapannya itu disertai pula dengan langkah kaki dan gerak tangan,
meniru-niru bagaimana perkelahian itu terjadi.
Tetapi orang yang berdiri sama tengah dan melihat dengan matanya sendiri perkelahian itu, memuji kesabaran hati Midun. Begitu pula ketangkasannya mengelakkan serangan Kacak,
sangat mengherankan hati orang. Mereka itu semuanya menyangka, tak dapat tiada Midun ahli silat, kalau tidak masakan sepandai itu benar ia mengalahkan serangan Kacak.
Tetapi di antara orang banyak yang melihat perselisihan Kacak dengan Midun di pasar itu, ada pula yang amat heran memikirkan kejadian itu. Apalagi melihat kemarahan hati Kacak dan caranya menyerang Midun, menakjubkan hati orang. Pada pikiran mereka itu, masakan sesuatu sebab yang sedikit saja, menimbulkan amarah Kacak yang hampir tak ada
hingganya. Tentu saja hal itu ada ekornya, kalau tidak takkan mungkin demikian benar kegusaran hati Kacak kepada Midun.
Memang sebenarnyalah pikiran orang yang demikian itu. Sejak waktu masih kanak-kanak, sebelum mamak Kacak menjadi Tuanku Laras, Midun dan Kacak sudah bermusuhan. Ketika mereka masih kecil-kecil, acap kali terjadi pertengkaran, karena berlainan kemauan. Hampir setiap bulan ada-ada saja yang menyebabkan hingga mereka itu keduanya terpaksa berkelahi, mengadu kekuatan masing-masing. Tetapi setelah muda remaja dan telah berpikiran, maka keduanya sama-sama menarik diri. Apalagi sejak mamak Kacak sudah menjadi Tuanku Laras, Midun telah menjauhkan diri daripada Kacak, dan ia sudah segan saja kepada kemenakan raja di kampung itu.
Sekonyong-konyong ketika berdua belas di masjid, Kacak sudah mulai benci kepada Midun. Kebencian itu lama-kelamaan berangsur-angsur menjadikan dendam. Tidak saja karena waktu berdua belas itu Kacak menaruh sakit hati kepada Midun, tetapi ada pula beberapa sebab yang lain yang tidak menyenangkan hatinya. Pertama, Midun dikasihi orang kampung, dia tidak, padahal ia kemenakan kandung Tuanku Laras. Kedua, Kacak mendengar kabar angin, bahwa Midun sudah mendapat keputusan silat daripada Haji Abbas, tetapi dia sendiri minta belajar, tidak diterima oleh Haji Abbas. Ketiga, dalam segala hal kalau ada permufakatan pemuda-pemuda, Midun selalu dijadikan ketua, tetapi dia disisihkan orang saja. Pendeknya, di dalam pergaulan di kampung itu, Kacak terpencil hidupnya, seakan-akan sengaja ia disisihkan orang.
Oleh karena itu pada pikiran Kacak, tak dapat tiada sekaliannya itu perbuatan Midun semata-mata. Sesungguhnya, jika tidak dipisahkan orang dalam perkelahian di pasar itu, memang ia hendak menewaskan Midun benar-benar. Kebencian dalam hatinya sudah mulai berkobar. Dan lagi karena mendengar kabar Midun pandai bersiIat, dan dia sudah paham
pula dalam ilmu starlak, menimbulkan keinginan pula kepadanya hendak mencobakan ketangkasannya kepada Midun.
Sebermula akan si Midun itu, ialah anak seorang peladang biasa saja. Sungguhpun ayah Midun orang peladang, tetapi pemandangannya sudah luas dan pengetahuannya pun dalam.
Sudah banyak negeri yang ditempuhnya, dan telah jauh rantau dijalaninya semasa muda. Oleh sebab lama hidup banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat, maka orang tua itu dapatlah memperbandingkan mana yang baik dan mana yang buruk. Tahu dan mengertilah Pak Midun bagaimana caranya yang baik menjalankan hidup dalam pergaulan bersama.
Dengan pengetahuannya yang demikian itu, dididiknyalah anaknya Midun dengan hemat cermat, agar menjadi seorang yang berbahagia kelak.
Setelah Midun akil balig, timbullah dalam pikiran Pak Midun hendak menyerahkan anaknya itu belajar silat. Ia amat ingin supaya Midun menjadi seorang yang tangkas dan cekatan. Pak
Midun merasa, bahwa silat itu berguna benar untuk membela diri dalam bahaya dan perkelahian. Lain dari pada itu, amat besar  faedah silat itu untuk kesehatan badan. Karena Pak Midun sendiri dahulu seorang pandai silat, insaf benarlah ia bagaimana kebaikan pergerakan badan itu untuk menjaga kesehatan tubuh. Ketika Pak Midun dahulu hendak menyerahkan anaknya, dicarinyalah seorang guru yang telah termasyhur kepandaiannya dalam ilmu silat. Maka demikian, menurut pikiran Pak Midun, jika tanggung-tanggung kepandaian guru itu, lebih baik tak usah lagi anaknya belajar silat. Seorang pun tak ada yang
tampak oleh Pak Midun, guru yang bersesuaian dengan pikirannya di negeri itu. Lain daripada Haji Abbas, guru Midun mengaji dan saudara sebapak dengan dia, tak ada yang berkenan pada pikirannya. Tetapi sayang, sudah dua tiga kali maksudnya itu dikatakannya, selalu ditolak saja oleh Haji Abbas. Haji Abbas memberi nasihat: supaya Midun diserahkan kepada Pendekar Sutan, adik kandungnya sendiri. Dikatakannya, bahwa sudah tua tidak kuat lagi. Dan kepandaiannya bersilat pun boleh dikatakan hampir bersamaan dengan Pendekar Sutan.
Maka diserahkanlah Midun belajar silat oleh ayahnya kepada Pendekar Sutan. Karena Pak Midun seorang yang tabu dan alif, tiadalah ditinggalkannya syarat-syarat aturan berguru, meskipun tempat anaknya berguru itu adik sebapak dia. Pendekar Sutan dipersinggah (dibawa, dijamu) oleh Pak Midun dengan murid-muridnya ke rumahnya. Sesudah makan-minum, maka diketengahkannyalah oleh Pak Midun syarat-syarat berguru ilmu silat, sebagaimana yang sudah dilazimkan orang di Minangkabau. Syarat berguru silat itu ialah: beras sesukat, kain putih
sekabung, besi sekerat (pisau sebuah), uang serupiah, penjahit (jarum) tujuh, dan sirih pinang selengkapnya. Segala barang-barang itu sebenarnya kiasan saja semuanya.
Arti dan wujudnya:
Beras sesukat, gunanya akan dimakan guru, selama mengajarianak muda yang hendak belajar itu; seolah-olah mengatakan: perlukanlah mengajarnya, janganlah dilalaikan sebab
hendak mencari penghidupan lain. Kain putih sekabung, "alas tobat" namanya; maksudnya
dengan segala putih hati dan tulus anak muda itu menerima pengajaran; samalah dengan kain itu putih dan bersih hati anak muda itu menerima barang apa yang diajarkan guru. Ia akan menurut suruh dan menghentikan tegah. Dan lagi mujur tak boleh diraih, malang tak boleh ditolak, kalau sekiranya ia kena pisau atau apa saja sedang belajar, kain itulah akan kafannya
kalau ia mati.
Besi sekerat (pisau sebuah) itu maksudnya, seperti senjata itulah tajamnya pengajaran yang diterimanya dan lagi janganlah ia dikenai senjata, apabila telah tamat
pengajarannya.
Uang serupiah, ialah untuk pembeli tembakau yang diisap guru waktu melepaskan lelah dalam mengajar anak muda itu, hampir searti juga dengan beras sesukat tadi.
Penjahit tujuh, artinya sepekan tujuh hari; hendaklah guru itu terus mengajarnya, dengan pengajaran yang tajam seperti jarum itu. Dan meski tujuh macamnya mara bahaya yang
tajam-tajam menimpa dia, mudah-mudahan terelakkan olehnya, berkat pengajaran guru itu. Pengajaran guru itu menjadi darah daging hendaknya kepadanya, jangan ada yang menghalangi, terus saja seperti jarum yang dijahitkan.
Sirih pinang selengkapnya, artinya ialah akan dikunyah guru, waktu ia menghentikan lelah tiap-tiap sesudah mengajar anak muda itu, dan lagi sirih pinang itu telah menjadi adat yang
biasa di tanah Minangkabau.
Setelah beberapa lamanya Midun belajar silat kepada Pendekar Sutan, maka tamatlah. Sungguhpun demikian Pak Midun belum lagi bersenang hati. Pada pikirannya kepandaian
Midun bersilat itu belum lagi mencukupi. Yang dikehendaki Pak Midun: belajar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas. Artinya silat Midun seboleh-bolehnya haruslah berkesudahan atau mendapat keputusan daripada seorang ahli silat yang sudah termasyhur. Oleh sebab itu, ingin benar ia hendak menyuruh menambah pengajaran Midun kepada Haji Abbas. Di dalam ilmu silat, memang Haji Abbas sudah termasyhur semana-mana di seluruh tanah Minangkabau. Sebelum ia pergi ke Mekkah, amat banyak muridnya bersilat. Di antara muridnya itu kebanyakan orang datang dari negeri lain. Tidak sedikit guru-guru silat yang datang mencoba ketangkasan Haji Abbas bersilat, semuanya kalah dan mengaku bahwa silat Haji Abbas sukar didapat, mahal dicari di tanah Minangkabau. Karena keahliannya di dalam ilmu silat itu, kendatipun ia tidur nyenyak, jika dilempar dengan puntung api api saja, tak dapat tiada barang itu dapat ditangkapnya.
Tidak hal yang demikian itu saja yang memasyhurkan nama Haji Abbas perkara silat, tetapi ada lagi beberapa hal yang lain. Semasa muda, ketika Haji Abbas dan Pak Midun berdagang menjajah tanah Minangkabau, tidak sedikit cobaan yang telah dirasainya. Acap kali ia disamun orang di tengah perjalanan, diperkelahikan orang beramai-ramai. Tapi karena ketangkasannya, segala bahaya itu dapat dielakkan Haji Abbas. Lebih-lebih lagi yang makin menambah harum nama Haji Abbas, ketika ia disamun orang Baduwi antara Jeddah dan Mekkah waktu dalam perjalanan ke Tanah Suci. Lebih dari sepuluh orang, orang
Baduwi yang memakai senjata tajam hendak merampoknya; dengan berteman hanya tiga orang saja dapat ditewaskannya. Sungguhpun berteman boleh dikatakan Haji Abbas seoranglah yang berkelahi dengan Baduwi itu. Tak dibiarkannya sedikit jua segala Baduwi itu menyerang kawannya.
Dalam ilmu akhirat pun Haji Abbas adalah seorang ulama besar. Memang sudah menjadi sifat pada Haji Abbas, jika menuntut sesuatu ilmu berpantang patah di tengah. Sebelum
diketahuinya sampai ke urat-uratnya, belumlah ia bersenang hati. Muridnya mengaji amat banyak. Baik anak-anak, baik pun orang tua, semuanya ke surau Haji Abbas belajar agama. Tidak orang kampung itu saja, bahkan banyak orang yang datang dari negeri lain belajar mengaji kepada Haji Abbas. Oleh karena Haji Abbas adalah seorang tua, yang lubuk akal gudang bicara, laut pikiran tambunan budi, maka ia pun dimalui dan ditakuti orang di kampung itu.
Keadaan yang demikian itu diketahui Pak Midun belaka. Itulah tali sebabnya maka besar benar keinginannya hendak menambah pengajaran Midun bersilat kepada Haji Abbas. Karena Haji Abbas selalu menolak permintaan Pak Midun, dengan tipu muslihat dapat juga diikhtiarkannya Midun belajar silat dengan dia.
Demikianlah ikhtiar Pak Midun: Mula-mula Pak Midun bermufakat dengan Pendekar Sutan.
Dikatakanlah kepada Pendekar Sutan, bahwa ia hendak menipu Haji Abbas. Sebabnya ialah karena Midun ingin hendak mendapat sesuatu dari Haji Abbas, tetapi selalu ditolaknya saja. Maka diceritakannyalah oleh Pak Midun bagaimana tipu yang hendak disuruh lakukannya kepada Midun.
"Biarlah, Pendekar Sutan!" ujar Pak Midun, "bukankah silat Midun sekarang sudah boleh dibawa ke tengah. Tidak akan gampang lagi orang dapat mengenainya. Meskipun dua-tiga orang mempersama-samakan dia, belum tentu lagi ia akan roboh. Oleh sebab itu, ketika Haji Abbas sedang tidur nyenyak di surau, kita suruh lempar oleh Midun dengan ranting kayu. Manakala Haji Abbas terkejut dan menangkap ranting kayu itu, saat itulah Midun harus menyerang Haji Abbas."
"Saya pun sesuai dengan pikiran Pak Midun itu!" jawab Pendekar Sutan. "Tetapi hal ini tidak boleh kita permudah saja. Boleh jadi Midun dapat dikenalnya, karena Haji Abbas guru besar dan sudah termasyhur silatnya. Sungguh, sebenarnya saya agak khawatir memikirkannya."
"Tak usah dikhawatirkan. Hal itu pun sudah saya pikirkan dalam-dalam. Tentu tidak akan kita biarkan Midun seorang diri saja. Kita harus serta pula menemaninya, akan mengamatamati kalau-kalau ada bahaya. Tetapi hendaklah kita
bersembunyi melihat kejadian itu."
"Kalau demikian, baiklah," kata Pendekar Sutan pula sambil tersenyum. "Saya pun ingin benar hendak melihat ketangkasan Haji Abbas, sebab dari dahulu saya hendak belajar kepadanya, selalu ditolaknya pula, hingga terpaksa saya berjalan kian kemari mencari guru silat."
Pada suatu hari, sesudah sembahyang lohor, kelihatanlah Pak Midun, Pendekar Sutan dan Midun di surau Haji Abbas. Pak Midun dan Pendekar Sutan bersembunyi di surau kecil di sebelah. Waktu itu Haji Abbas sedang tidur nyenyak di mihrab, karena sudah larut malam pulang dari mendoa semalam. Midun pun bersiaplah, lalu melempar Haji Abbas dengan ranting kayu. Haji Abbas terkejut dan menangkap ranting kayu itu. Ketika itu Midun melompat dan dengan tangkas diserangnya Haji Abbas. Maka terjadilah pada ketika itu... ya, perkelahian bapak dengan anak. Tangkap-menangkap, empas-mengempaskan, tak ubahnya sebagai orang yang berkelahi benar-benar.
Setelah beberapa lamanya dengan hal yang demikian itu, sekonyong-konyong Midun terempas agak jauh. Jika orang lain yang tak pandai bersilat terempas demikian itu, tak dapat tiada pecah kepalanya. Tetapi karena Midun pandai silat pula, tak ada ubahnya sebagai kucing diempaskan saja. Ketika Haji Abbas bersiap akan menanti serangan, tampak olehnya Midun. Haji Abbas menggosok matanya, seolah-olah ia tidak percaya
kepada matanya. Ia sebagai orang bermimpi, dan amat heran karena kejadian itu. Setelah beberapa lamanya, nyatalah kepadanya bahwa sebenarnyalah Midun yang menyerang dia.
"Sudah bertukarkah pikiranmu, Midun?" ujar Haji Abbas tibatiba dengan marah. "Hendak membunuh bapakmukah engkau?"
"Tidak, Bapak!" jatvab Midun dengan ketakutan. "Pikiran saya masih sehat; ayah dan Bapak Pendekar ada di surau kecil di sebelah."
"O, jadi mereka itukah yang menyuruh engkau melakukan pekerjaan ini?" kata Haji Abbas pula dengan sangat marah. "Apa maksudnya berbuat demikian ini? Bosankah ia kepadamu atau bencikah kepadaku, supaya kita salah seorang binasa? Panggil dia, suruh datang keduanya kemari! Terlalu, sungguh terlalu!"
Tidak lama antaranya Pak Midun dan Pendekar Sutan naiklah ke surau. Baru saja ia sampai, Haji Abbas berkata dengan marahnya, "Perbuatan apa ini yang Pak Midun suruhkan kepada anak saya? Apakah dendam kamu kedua yang tidak lepas, maka menyuruh lakukan perbuatan ini kepada Midun? Sungguh terlalu!"
"Janganlah terburu nafsu saja Haji marah," ujar Pak Midun dengan agak ketakutan. "Kejadian ini ialah karena kesalahan Haji sendiri."
"Kesalahan saya?" jawab Haji Abbas dengan heran. "Apa pula sebabnya saya yang Pak Midun salahkan? Bukankah perbuatan Pak Midun ini sia-sia benar?"
Ketika itu tampaklah kepada Pak Midun, marah Haji Abbas sudah agak surut. Pak Midun berkata sambil bersenda-gurau, "Selalu saya diusik anak Haji, supaya ia dapat menambah
kepandaiannya dengan Haji. Beberapa kali saya disuruhnya mengatakan kepada Haji, karena ia ingin benar hendak mendapat sesuatu tentang ilmu silat daripada Haji. Tetapi tiap-tiap permintaannya itu saya sampaikan, selalu saja Haji tolak.
Kesudahannya terjadilah yang demikian ini. Sekarang kami yang Haji salahkan. Haji katakan, apa dendam kami yang tak lepas. Kalau Haji ingin hendak mencoba, berdirilah! Memang saya sudah ingin hendak bersilat dengan Haji!"
Pak Midun berdiri, lalu mengendangkan tangan dan melangkahan kaki. Sambil menari ia berkata pula dengan tertawa, katanya, "Bangunlah, Haji, mengapa duduk juga? Ah,
jadi muda lagi perasaan saya…"
Melihat kelakuan Pak Midun yang jenaka itu, marah Haji Abbas pun surutlah. Hatinya tenang bagai semula, dan tertawa karena geli hatinya. Pak Midun duduk kembali, lalu bermufakatlah ketiga bapak Midun itu. Maka dikabulkanlah oleh Haji Abbas permintaan Midun hendak belajar dengan dia. Haji Abbas mengajar Midun amat berlainan dengan
Pendekar Sutan. Midun diajar Haji Abbas tidak pada suatu  tempat atau sasaran. Melainkan, tiap-tiap pulang dari mendoa atau pulang dari berjalan-jaIan, pada tempat yang sunyi, Midun sekonyong-konyong diserang oleh Haji Abbas. Maka bersilatlah mereka itu di sana beberapa lamanya. Demikianlah diperbuat Haji Abbas ada enam bulan, lamanya. Setelah itu barulah Midun diberi keputusan silat oleh Haji Abbas.
Pertama, Midun dibawa Haji Abbas bersilat pada sebidang tanah yang jendul dan berbonggol. Di situ sama-sama berikhtiar mereka akan mengenai masing-masing. Maksud Haji Abbas membawa Midun bersilat pada tanah yang demikian, ialah supaya kukuh ia berdiri, jangan tangkas pada tanah yang datar saja.
Kedua, atas papan, misalnya di rumah yang berlantaikan papan. Bersilat di tempat itu sekali-kali tidak boleh berbunyi langkah kaki. Sekalipun terempas, hendaklah sebagai kucing
diempaskan saja, tidak keras bunyinya dan tidak boleh tertelentang.
Ketiga, bersilat di dalam bencah atau pada sebidang tanah yang sudah dilicinkan. Midun tidak boleh jatuh, tetapi harus menangkis serangan guru.
Keempat, pada sebidang tanah yang diberi bergaris bundaran. Midun harus bersilat dengan guru tidak boleh melewati garis, tetapi guru berusaha, supaya Midun melewati
garis itu.
Kelima, bersilat di dalam gelap dan hendaklah dapat mengalahkan serangan orang yang memakai senjata tajam. Bagian yang kelima inilah yang sukar. Bagi Midun belum sempurna benar dapatnya. Sebabnya, karena pada bagian ini, haruslah tahu lebih dahulu gerak, angin, dan rasa. Hal itu tidak dipelajari, melainkan timbul sendiri, setelah beberapa lamanya
pandai bersilat.
Mengingat keadaan yang demikian itulah maka Pak Midun amat terkejut dan khawatir mendengar kabar perkelahian anaknya dengan Kacak. Dalam hatinya amat marah kepada anaknya, karena yang dilawan Midun berkelahi itu kemenakan Tuanku Laras. Tetapi setelah mendengar kabar dari Maun, yang kebetulan lalu di muka rumahnya hendak ke surau, agak senang hatinya. Sungguhpun demikian, sebelum bertemu dengan Midun belum senang benar hatinya. Pak Midun ingin hendak mendengar kabar itu daripada anaknya sendiri. Rasakan dicabutnya hari menanti waktu magrib habis, karena waktu itu anaknya pulang makan. Tegak resah, duduk pun gelisah, sebentarsebentar ia melihat ke jendela, kalau-kalau Midun datang."Maun, suruh pulang anak-anak itu semua!" kata Haji Abbas. "Katakan kepada mereka itu, malam ini tidak mengaji. Malam besok saja suruh datang. Saya dengan Midun akan pergi mendoa malam ini. Engkau tinggal di surau dan kalau ada orang menanyakan kami, katakan kami pergi mendoa ke rumah Pakih Sutan."
Sesudah sembahyang magrib, Haji Abbas dan Midun turunlah dari surau. Sebelum pergi mendoa, lebih dahulu mereka itu singgah ke rumah Pak Midun. Setelah sudah minum dan mengisap rokok sebatang seorang, Haji Abbas pun berkata, katanya, "Betulkah tadi engkau berkelahi dengan Kacak? Belum cukup sebulan engkau tamat bersifat sudah berkelahi. Itu pun yang engkau lawan bukan sembarang orang pula."
"Tidak, Bapak, tapi sudah umpama berkelahi juga namanya; bukan saya yang salah, melainkan dia," jawab Midun dengan ragu-ragu, sebab ia sendiri merasa tidak ada berkelahi. Akan dikatakannya berkelahi, ia tidak ada meninju Kacak, melainkan Kacak yang menyerang dia.
"Ganjil benar jawabmu! Apa maksudmu mengatakan umpama berkelahi itu?"
Midun melihat kedua bapaknya itu sebagai tidak bersenang hati mendengar jawabnya. Tampak dan nyata kepadanya pada muka mereka itu kekhawatiran atas kejadian hari itu. Maka Midun menerangkan dengan panjang lebar asal mula perselisihannya
dengan Kacak waktu bermain sepak raga. Satu pun tak ada yang dilampauinya, diterangkannya sejelas-jelasnya. Mendengar perkataan Midun, legalah hati kedua bapaknya itu. Apalagi keterangan itu, bersesuaian dengan berita orang kepada mereka, yang melihat sendiri kejadian petang itu. Tidak lama kemudian Haji Abbas berkata pula, katanya, "Meskipun engkau tidak bersalah, tapi percayalah engkau, bahwa kejadian petang ini tidak membaikkan kepada namamu. Biarpun tidak salahmu, tapi kata orang keduanya salah. Tak mau bertepuk sebelah tangan. Yang akan datang saya harap jangan hendaknya terjadi pula macam ini sekali lagi. Saya tidak sudi melihat orang suka berkelahi. Kebanyakan saya lihat anakanak muda sebagai engkau ini, kalau sudah berilmu sedikit amat sombong dan congkak. Tidak berpucuk di atas enau lagi. Pikirnya, tak ada yang lebih daripada dia. Lebih-lebih kalau ia pandai bersilat. Dicari-carinya selisih supaya ia berkelahi, hendak memperlihatkan kecekatannya. Salah-salah sedikit hendak berkelahi saja. Begitulah yang kebanyakan saya lihat.
Padamu kami harap jangan ada tabiat yang demikian. Hal itu semata-mata mencelakakan diri sendiri. Tidak ada yang selamat, binasa juga akhir kelaknya. Dari pada sahabat kenalan
kita pun terjatuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian runduk. Begitulah yang kami sukai dalam pergaulan bersama.
Satu pun tak ada faedahnya memegahkan diri, hendak memperlihatkan pandai begini, tahu begitu. Asal tidak akan merusakkan kesopanan diri, dalam percakapan atau tingkah laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yang mendatangkan keselamatan dan keuntungan dirimu.
Berani karena benar, takut karena salah. Akuilah kesalahan itu, jika sebenarnya bersalah. Tetapi perlihatkan keberanian, akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasanya lekas naik darah. Hal itu seboleh-bolehnya ditahan. Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bilamana perlu janganlah undur barang setapak jua pun; itulah tandanya bahwa kita seorang laki-laki. Begitu pula halnya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerap kali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak pandai mengemudikan hawa nafsu, alamat badan akan binasa. Jika diturutkan hawa nafsu, mau ia sampai ke langit yang kedelapan jika ada langit yang kedelapan. Oleh karena itu, biasakan diri memandang ke bawah, jangan selalu ke atas. Hendaklah pandai-pandai me-megang kendali hawa nafsu, supaya selamat diri hidup di dunia ini. Pikir itu pelita hati. Karena itu pekerjaan yang hendak dilakukan, pikirkan dalam-dalam, timbang dahulu buruk baiknya.
Lihat-lihat kawan seiring, kata orang. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat. Jauhi segala percederaan.
Bercampur dengan orang alim. Tak dapat tiada kita alim pula. Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab itu pandai-pandai mencari sahabat kenalan. Jangan dengan sembarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita. Daripada bersahabat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai. Nah, saya katakan terus terang kepadamu! Engkau adalah seorang anak muda yang cekatan. Budi pekertimu baik. Dalam segala hal engkau rajin dan pandai. Selama ini belum pernah engkau mengecewakan hati kami. Segala pekerjaanmu boleh dikatakan selalu menyenangkan hati kami. Tidak kami saja yang memuji engkau, bahkan orang kampung ini pun sangat memuji perangaimu. Oleh karena itu, peliharakanlah namamu yang baik selama ini. Pengetahuanmu untuk dunia dan akhirat sudah memadai. Tentu engkau telah dapat memahamkan mana yang baik dan mana yang buruk dekianlah nasihat saya.
Midun tepekur mendengar nasihat Haji Abbas itu. Diperhatikannya dengan sungguh sungguh. Satu pun tak ada yang dilupakannya. Masuk benar-benar nasihat itu ke dalam hati
Midun. Kemudian Midun berkata, katanya, "Saya minta terima kasih banyak-banyak akan nasihat Bapak itu. Selama hayat dikandung badan takkan saya lupa-lupakan. Segala pengajaran Bapak, setitik menjadi laut, sekepal menjadi gununglah bagi saya hendaknya. Mudah-mudahan segala nasihat Bapak itu menjadi darah daging saya."
"Nasihat bapakmu itu sebenarnya," ujar Pak Midun pula, ingatlah dirimu yang akan datang. Siapa tahu karena Kacak tak dapat mengenai engkau, perkara itu menimbulkan sakit hati
kepadanya. Bukankah hal itu boleh mendatangkan yang tidak baik. Insaflah engkau, pikirkan siapa kita dan siapa orang itu." Setelah itu maka Haji Abbas dan Midun pergilah mendoa.

###

Sengsara Membawa Nikmat
Senjata Hidup
oleh
Tulis Sutan Sati

Senin, Agustus 20, 2012

Sensara Menbawa Nikmat ( Bermain Sepak Raga Part 2)

...
Adapun pasar di kampung itu terletak di tepi jalan besar. Pada seberang jalan di muka pasar, berderet beberapa buah rumah dan lepau nasi. Di belakang rumah-rumah itu mengalir
sebuah sungai, Pasar itu diramaikan hanya sekali sepekan, yaitu tiap-tiap hari Jumat. Itu pun ramainya hanya hingga tengah hari saja. Oleh sebab itu, segala dangau-dangau diangkat orang. Tetapi dangau-dangau yang sebelah ke tepi pasar dibiarkan tertegak. Gunanya ialah untuk orang musafir atau siapa saja yang suka bermalam di situ, atau untuk berlindung dari pada panas akan melepaskan lelah dalam perjalanan dan lain lain sebagainya. Lelain dari pada hari Jumat, pasar itu dipergunakan orang juga untuk bermain sepak raga, rapat negeri, dan lain-lain.
Ketika Midun kelihatan oleh beberapa orang muda di pasar itu, mereka itu pun datanglah mendapatkannya. Mereka itu semuanya amat bergirang hati melihat Midun. Begitu pula ketika ia bersalam dengan orang-orang tua yang duduk berkelompok- kelompok di situ, nyata terbayang pada muka orangorang itu kesenangan hatinya. Apakah sebabnya demikian? Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengar; tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati, penyayang dan pengasih, jarang orang yang sebaik dia hatinya. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras; apa yang dimaksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah pula padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih hati olehnya. Karena itu, tua muda, kecil besar di kampung itu kasih dan sayang kepada Midun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir orang banyak, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan.
Orang sudah banyak di pasar, di sana-sini kelihatan orang duduk berkelompok-kelompok. Orang yang akan menonton permainan sepak raga pun sudah banyak pula datang. Anak-anak sudah berlarian ke sana kemari, mencari tempat yang baik untuk menonton. Ada pula di antara mereka itu yang bermainmain, misalnya berkucing-kucing, berkuda-kuda dan lain-lain, menanti permainan dimulai. Segala orang di pasar itu rupanya gelisah, tidak senang diam. Sebentarsebentar melihat ke jalan besar, sebagai ada yang dinantikannya.
Tidak berapa lama antaranya, kelihatan seorang muda datang menuju ke pasar itu. Ia bercelana batik, berbaju Cina yang berkerawang pada saku dan punggungnya. Kopiahnya sutera selalu, berterompah dan bersarung kain Bugis. Sungguh, tampan dan alap benar kelihatannya dari jauh. la berjalan dengan gagah dan kocaknya, apalagi diiringkan oleh beberapa orang pengiringnya.
"Itu dia Engku Muda Kacak sudah datang," kata Maun kepada kawan-kawannya.
Mendengar perkataan Maun, orang yang duduk berkelompok- kelompok itu berdiri. Setelah Kacak sampai ke pasar, semuanya datang bersalam kepadanya. Sungguhpun Kacak masih berumur 21 tahun lebih, tetapi segala orang di pasar itu, baik tua ataupun muda, sangat hormat kepadanya dan dengan sopan bersalam dengan dia. Tetapi mereka ber-salam tidak sebagai kepada Midun, melainkan kebalikannya. Mereka itu semuanya seolah-olah terpaksa, sebab ada yang ditakutkannya.
Sudah padan benar nama itu dilekatkan kepadanya, karena bersesuaian dengan tingkah lakunya. la tinggi hati, sombong, dan congkak. Matanya juling, kemerah-merahan warnanya.
Alisnya terjorok ke muka, hidungnya panjang dan bungkuk. Hal itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang busuk hati. Di kampung itu ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya. Perkataannya kasar, selalu menyakitkan hati. Adat sopan santun sedikit pun tak ada pada Kacak. Ke mana-mana berjalan selalu ia pakai pengiring. Bahkan di dalam pemerintahan ia pun campur pula, agaknya lebih dar'r mamaknya. Sungguhpun demikian, seorang pun tak ada yang berani menegurnya, karena orang takut kepada Tuanku Laras. Kacak pun seolah-olah tahu pula siapa dia: karena itu ia selalu menggagahkan diri di
kampung itu.
"Sudah sepetang ini hari, belum jugakah jenang datang ke medan?" ujar Kacak dengan agak keras, sambil melayangkan pemandangannya, seakan-akan mencari seseorang dalam orang
banyak yang datang bersalaman kepadanya itu. "Sudah, Engku Muda;" ujar Maun dengan sopan. "Itu beliau di dalam lepau nasi sedang bercakap-cakap. Agaknya beliau menantikan kedatangan Engku Muda saja lagi."
"Katakanlah saya sudah datang!" ujar Kacak pula dengan pongahnya. "Sudah hampir terbenam matahari gila membual juga."
Tidak lama antaranya, keluarlah seorang yang agak tua dan bertubuh tegap dari dalam sebuah lepau nasi. Orang itu ialah jenang permainan sepak raga. Baru saja dilihatnya Kacak, segera ia datang mendapatkannya. Sambil bersalam jenang berkata, katanya, "Sudah lama Engku Muda datang?".
"Lama juga," jawab Kacak dengan muka masam. "Apakah sebabnya tidak dimulai juga bermain sepak raga? Akan dinantikan terbenamnya matahari dulu, maka dimulai?"
"Ah, kami sudah dari tadi datang," ujar jenang dengan hormat, "hanya menantikan Engku Muda saja lagi."
"Mengapa tidak dimulai saja dulu? Sungguh, jika tak ada saya rupanya takkan jadi permainan ini."
Segala penonton sudah duduk pada tempatnya masingmasing, yang telah disediakan oleh pengurus medan itu sebelum bermain. Maka jenang pun pergilah bersalam kepada beberapa orang penonton yang terpandang, yang maksudnya tidak saja memberi selamat datang, tetapi seolah-olah meminta izin juga, bahwa permainan akan dimulai.
"Rupanya banyak juga orang datang dari jorong lain hendak bermain hari ini," ujar seorang penghulu ketika bersalam dengan jenang.
"Benar, Datuk," ujar jenang. "Sungguh, luar biasa ramainya sekali ini."
Setelah jenang masuk ke tengah medan, maka segala pemain pun datanglah bersalam dengan hormatnya, akan mengenalkan diri masing-masing. Kemudian segala pemain berdiri berkeliling, membuat sebuah bundaran di medan itu. Jenang yang berdiri di tengah medan, lalu melihat berkeliling, memperhatikan pemain yang berdiri di medan itu.
"Engku Muda Kacak!" kata jenang sekonyong-konyong, "Permainan akan kita mulai." Perkataan jenang yang demikian itu sudah cukup untuk menjadi sindiran kepada pemain, agar segera memperbaiki kesalahannya. Kacak kemalu-maluan, tetapi apa hendak dikatakan, karena di medan itu jenang lebih berkuasa daripada dia. Dengan muka merah dan menggigit bibir karena malu dapat teguran jenang, Kacak melihat ke kiri-ke kanan, ke muka dan ke belakang, lalu memperbaiki tegaknya. Segala pemain yang lain insaf pula akan arti sindiran itu, lalu mereka memperhatikan betul tidaknya tempat ia berdiri. Syukurlah hanya Kacak seorang yang tidak sempurna tegaknya di medan itu. Sesudahnya jenang memperbahasakan tamu, yaitu memberikan raga supaya disepakkan lebih dulu, permainan pun dimulailah.
Jenang menyepak raga, lalu berkata, "Bagian Engku Muda Kacak!" Maka Kacak pun bersiap menanti raga. Dengan tangkas, raga itu disepaknya tinggi ke atas, lalu berkata, "Bagianmu, Midun!" Midun bersiap serta memandang ke arah suara itu datang. Nyata kepadanya, bahwa yang berseru itu Kacak. Dengan tidak menanti anak raga, lalu Midun mempertubi-tubikan sepaknya sampai sepuluh kali. Sudah itu disepakkannya pula ke arah
Kacak, lalu berkata, "Sambutlah kembali, Engku Muda!" Kacak melihat hal Midun dengan kepandaiannya itu tidak bersenang hati. Ia berkata dalam hatinya, "Berapa kepandaianmu,
saya lebih lagi dari engkau."
Ketika raga tinggi melambung, ia memandang ke atas serta menganjur langkah ke belakang. Maksudnya akan mencari alamat, dan hendak melompat sambil menyepak raga, tetapi celaka! Ketika ia akan menyepak; kakinya yang sebelah kiri tergelincir, lalu Kacak... bab, jatuh terenyak. Segala yang main, baik pun si penonton semuanya tersenyum sambil membuang muka. Mereka itu seakan-akan menahan tertawanya. Oleh karena itu, tak ada ubahnya sebagai orang sakit gigi tertawa. Sebabnya, ialah karena orang segan dan takut kepada kemenakan Tuanku Laras itu. Waktu Kacak terduduk, dan warna mukanya itu pucat menahan sakit, seorang daripada mereka yang main itu bernama Kadirun berkata, katanya,
"Cempedak hutan!"
Adapun Kadirun itu ialah teman Midun semasa kecil. Ia amat pandai membuat orang tertawa. Tak ada ubahnya sebagai alanalan (badut) pada komidi. Jangankan mendengar perkataannya, melihat rupanya saja pun orang sudah hendak tertawa. Kadirun adalah seorang muda yang sabar. Biarpun bagaimana juga diolok-olokkan orang, ia tertawa saja. Meskipun orang marah kepadanya, tetapi manakala berhadapan dengan dia, tak dapat tiada tertawa. Memang sudah menjadi sifat padanya tabiat itu sejak kecil. Hampir semua orang di kampung itu sudah mengetahui perangai Kadirun yang demikian.
Kawan-kawan Kadirun waktu masih kanak-kanak dahulu, lebih kurang ada sepuluh orang yang hadir di sana. Mereka itu mengerti apa maksud Kadirun berkata begitu. Semuanya
terkenang akan kejadian semasa mereka masih kecil itu, ketika menggembalakan kerbau di hutan. Karena itu tidak tertahan lagi perut mereka itu hendak tertawa. Kesudahannya lepas jua, mereka tertawa gelak-gelak mengenangkan perbuatan masa dahulu.
Kacak bertambah pucat mukanya karena malu. Apalagi dalam permainan itu, ia dialahkan Midun. Tubuhnya berasa sakit terjatuh. Pada pikiran Kacak orang tertawa itu mengejekkannya. Sekonyong-konyong merah padam mukanya. Darahnya mendidih, sebab marah. Maka diturutnya Kadirun akan menanyakan, apa maksud perkataan "cempedak hutan" itu. Kadirun anak muda yang sabar itu menjawab katanya, "Tanyakan kepada Midun apa maksudnya, Engku Muda!"
Mendengar perkataan itu, Kacak makin meradang. Hatinya bertambah panas, lebih-lebih mendengar nama orang yang dikatakan Kadirun itu, orang yang tidak disukainya. Sejak
kenduri di masjid, hatinya sudah mulai benci kepada Midun.Dengan tidak berkata-kata lagi, lalu diturutnya Midun.
Ketika ia sampai di hadapan Midun, kebetulan Midun sedang tersenyum. Pada pikiran Kacak menertawakannya. Ia tidak bertanya lagi, terus ditinjunya. Midun mengelak, ia tak kena. Kacak menyerang berturut-turut, tetapi Midun selalu mengelak diri, sambil undur ke belakang. Kesudahannya Midun tersesak ke balai-balai dangau, lalu bertalian. Kacak menyerbukan diri dengan deras. Midun melompat dan mengelak ke kiri. Karena deras datang, tangannya tertumbuk ke tonggak dangau. Tonggak dangau itu rebah, Kacak terdorong ke dalam, diimpit oleh atap dangau itu. Orang tertawa karena geli melihat kepala Kacak tersembul pada atap rumbia. Jenang lalu melompat akan melerai perkelahian itu. Makin disabarkan, makin keras Kacak hendak menyerang. Midun sabar saja, sedikit pun tak ada
terbayang hati marah pada mukanya.
Setelah Kacak disabarkan, Midun disuruh orang menerangkan apa arti kata "cempedak hutan" yang dikatakan Kadirun itu. Midun mencari Kadirun dengan matanya di dalam orang banyak, akan menyuruh menerangkan arti perkataan itu. Tetapi ketika
perkelahian terjadi, Kadirun sudah melarikan diri karena ketakutan.
Midun berkata, katanya, "Kawan-kawan saya tertawa itu sekali-kali tidak menertawakan Engku Muda Kacak. Tentu saja mereka itu tidak berani menertawakannya. Mereka tertawa karena mengenangkan perangainya semasa kanak-kanak.
Dahulu waktu kami kecil-kecil, pergi menggembalakan kerbau ke hutan. Sampai dalam hutan, kami duduk saja di atas punggung kerbau masing-masing. Sambil memberi makan
kerbau kami bernyanyi dan bersenda gurau sesuka-suka hati. Karena pekerjaan itu tidak berfaedah, melainkan menghabiskan hari saja, saya ajak kawan-kawan mufakat di bawah sepohon kayu yang rindang. Saya katakan kepadanya, daripada bernyanyi, lebih baik kita mencari hasil di hutan itu. Kawan-kawan tidak mau, karena mereka takut kerbaunya diserang binatang buas. Maka saya terangkanlah kepada mereka itu bagaimana cerita ayah saya tentang keinginan kerbau menjaga diri dalam hutan. Saya katakan juga, manakala kerbau diserang harimau misalnya, tidaklah akan terjaga, sebab kita semuanya masih kanak-kanak.
Mendengar saya mengatakan 'harimau', apalagi di dalam hutan, kawan-kawan saya ketakutan. Mereka melarang saya menyebut nama itu sekali lagi. Jika saya hendak menyebut juga, disuruhnya panggilkan saja 'inyi!'( kakek ) Perkataan kawan-kawan saya itu saya bantah pula. Sedangkan nama Allah disebut orang, istimewa nama binatang. Apalagi binatang itu tidak akan mengerti perkataan orang.
Dalam pada saya bercerita itu, tiba-tiba kedengaran bunyi sebagai barang jatuh dua kali. Bunyi itu kedengaran tidak jauh daripada kami. Kawan-kawan saya terkejut dan kecut hatinya. Pada persangkaan mereka, tak dapat tiada harimau yang melompat. Mereka itu duduk berdesak-desak, masing-masing hendak ke tengah akan melindungi diri. Berimpit-impit tidak bertentu lagu. Kelihatan tak ada ubahnya sebagai onggokan kecil. Seorang pun tak ada yang berani mengeluarkan perkataan, karena lidahnya sudah kaku dan mulut terkatup. Saya pun sudah tersepit di tengah-tengah, hampir tidak dapat bernapas lagi. Dengan segera saya terangkan, bahwa hal itu tak usah ditakutkan sebelum diperiksa dahulu. Lalu sayapun pergilah ke arah bunyi itu datang, akan melihat apa yang menyebabkan bunyi itu.
Amboi, bunyi yang kami takutkan itu, kiranya 'cempedak hutan' yang baru jatuh. Ketika itu timbullah pikiran saya hendak memperolok-olokkan kawan-kawan. Saya ambil kedua cempedak itu, lalu saya berjalan perlahan-lahan ke tempat kawan-kawan saya. Setelah dekat, saya lemparkan kedua cempedak itu, sambil berseru, 'Koyak, makan cempedak hutan!'
Mereka itu berjeritan dan bersiap hendak lari. Tetapi kaki mereka itu tak dapat lagi diangkatnya, sebab sudah kaku karena ketakutan. Sekonyong-konyong Maun berseru, katanya, 'Jangan lari, kawan, cempedak hutan kiranya.'
Sudah itu berbagai-bagailah senda gurau untuk menghilangkan ketakutan kami. Lebih-lebih Kadirun yang membuat ulah ini, selalu kami perolok-olokan dengan cempedak hutan itu.
Sakit-sakit perut kami tertawa melihat tingkah lakunya yang amat menggelikan hati itu.
Demikianlah kisah kami dengan cempedak hutan masa kami kecil-kecil itu. Jadi nyatalah kepada Engku Muda Kacak ataupun sanak-saudara yang lain, bahwa kami tidak menertawakan Engku Muda, melainkan tertawa mengenangkan perangai
dahulu jua."
Segala orang yang mendengarkan cerita itu jangankan diam, semakin jadi tertawanya. Amat geli hati orang mendengar cerita Midun itu. Kacak mendengar orang makin bernyala-nyala.
Rasakan hendak ditelannya Midun ketika itu. Pada pikirannya, jangankan Midun mendiamkan tertawa orang, tetapi seakanakan mencari-cari perkataan akan menggelikan hati, supaya
orang makin jadi tertawa. Tetapi apa hendak dikatakan, ia terpaksa berjalan dari tempat itu karena malu. Akan berkelahi sekali lagi, tentu tidak dibiarkan orang. Dengan pemandangan
yang amat tajam kepada Midun, Kacak pun pulanglah ke rumahnya.
Permainan sepak raga dihentikan, karena hari sudah jauh petang. Maka orang di pasar itu pun pulanglah ke rumahnya masing-masing. Midun pulang pula ke surau. Sepanjang jalan
tampaktampak olehnya pemandangan Kacak yang amat dalam pengertiannya itu. Hatinya berdebar-debar, khawatir kalaukalau hal itu menjadikan tidak baik kepadanya. Tetapi kemudian timbul pula pikirannya, dan berkata dalam hati, "Ah, tidak berutang tak membayar, tidak berpiutang tak menerima, masakan saya akan dimusuhinya. Karena perangai Kadirun saya akan dimusuhinya, tidak boleh jadi. Lagi pula masakan perkara yang sekecil itu akan menjadikan dendam kepada Kacak."

###
Sensara Menbawa Nikmat
Bermain Sepak Raga
oleh
Tulis Sutan Sati

Sabtu, Agustus 18, 2012

Sensara Membawa Nikmat ( Bermain Sepak Raga part 1)

WAKTU asar sudah tiba. Amat cerah hari petang itu. Langit tidak berawan, hening jernih sangat bagusnya. Matahari bersinar dengan terang, suatu pun tak ada yang mengalanginya. Lereng bukit dan puncak pohon-pohonan bagai disepuh rupanya.
Tetapi lembah dan tempat yang kerendahan buram cahayanya. Demikianlah pula sebuah kampung yang terletak pada sebuah lembah, tidak jauh dari Bukittinggi.
Dalam sebuah surau, di tepi sungai yang melalui kampung itu, kedengaran orang berkasidah. Suaranya amat merdu, turun naik dengan beraturan. Apa-lagi karena suara itu dirintangi
bunyi air sungai yang mengalir, makin enak dan sedap pada pendengaran. Seakan-akan dari dalam sungai suara itu datangnya. Hilang-hilang timbul, antara ada dengan tiada.
"Akan menjadi orang laratkah engkau nanti, Midun?" ujar seseorang dari halaman surau sambil naik. "Bukankah berlagu itu mengibakan hati dan menjauhkan perasaan? Akhir kelaknya badan jauh jua karenanya."
"Tidak, Maun," jawab orang yang dipanggilkan Midun itu, seraya meletakkan tali yang dipintalnya, "saya berkasidah hanya perintang-rintang duduk. Tidak masuk hati, melainkan
untuk memetahkan lidah dalam bahasa itu saja. Dari manakah engkau?"
"Dari pasar. Tidakkah engkau tahu, bahwa petang ini diadakan permainan sepak raga? Mari kita ke pasar, kabarnya sekali ini amat ramai di sana, sebab banyak orang datang dari
kampung lain!"
"Sudah banyakkah orang di pasar engkau tinggalkan tadi?"
"Banyak juga jenang pun sudah datang. Waktu saya tinggalkan, orang sedang membersihkan medan."
"Si Kacak, kemenakan Tuanku Laras, sudah datangkah?"
"Belum, saya rasa tentu dia datang juga, sebab dia suka pula akan permainan sepak raga."
Midun menarik napas. Maka ia pun berkata pula, katanya,
"Ah, tak usah saya pergi, Maun. Biarlah saya di surau saja menyudahkan memintal tali ini akan dibuat tangguk."
"Apakah sebabnya engkau menarik napas? Bermusuhankah engkau dengan dia?" ujar Maun dengan herannya.
"Tidak, kawan. Tapi kalau saya datang ke sana, boleh jadi mendatangkan yang kurang baik."
"Sungguh, ajaib. Bermusuh tidak, tapi boleh jadi mendatangkan yang tidak baik. Apa pula artinya itu?"
"Begini! Maun! Waktu berdua belas di masjid tempo hari, bukankah engkau duduk dekat saya?"
"Benar."
"Nah, adakah engkau melihat bagaimana pemandangan Kacak kepada saya?"
"Tidak."
"Masa kenduri itu kita duduk pada deretan yang di tengah. Kacak pada deret yang kedua. Engkau sendiri melihat ketika orang kampung meletakkan hidangan di hadapan kita. Bertimbun - timbun, hingga hampir sama tinggi dengan duduk kita. Ada yang meletakkan nasi, cukup dengan lauk-pauknya pada sebuah talam. Ada pula yang meletakkan penganan dan lainlain sebagainya, menurut kesukaan orang yang hendak bersedekah. Tetapi kepada Kacak tidak seberapa, tak cukup sepertiga yang kepada kita itu."
"Hal itu sudah sepatutnya, Midun. Pertama, engkau seorang alim. Kedua, engkau disukai dan dikasihi orang kampung ini. Oleh Kacak hanya derajatnya jadi kemenakan Tuanku Laras saja yang dimegahkannya. Tentang tingkah laku dan perangainya tidak ada yang akan diharap. Memang dia kurang disukai orang di seluruh kampung ini."
"Sebab itulah, maka suram saja mukanya melihat hidangan di muka kita. Ketika ia melayangkan pemandangannya kepada saya, nyata benar terbayang pada muka Kacak kebenciannya. Cemburu dan jijik agaknya dia kepada saya."
"Suka hatinyalah. Bukankah hal itu kemauan orang kampung. Apa pula yang menyakitkan hatinya kepadamu?"
"Benar katamu, suka hatinyalah. Tapi harus engkau ingat pula sebaliknya. Kita ini hanya orang kebanyakan saja, tapi dia orang bangsawan tinggi dan kemenakan raja kita di kampung
ini. Tidakkah hal itu boleh mendatangkan bahaya?"
"Mendatangkan bahaya? Bahaya apa pulakah yang akan tiba karena itu? Segalanya akan menjadi pikiran kepadamu. Apa gunanya dihiraukan, sudahlah. Marilah kita pergi bersamasama!"
"Patut juga kita pikirkan, mana yang rasanya boleh mendatangkan yang kurang baik kepada diri. Tetapi kalau engkau keras juga hendak membawa saya, baiklah."
"Ah, belum tumbuh sudah engkau siangi. Terlampau arif diri binasa, kurang arif badan celaka. Engkau rupanya terlalu arif benar dalam hal ini. Lekaslah, tidak lama lagi permainan akan
dimulai orang."
Maka kelihatanlah dua orang sahabat berjalan menuju arah ke pasar di kampung itu. Midun ialah seorang muda yang baru berumur lebih kurang 20 tahun. Ia telah menjadi guru tua di
surau. Pakaiannya yang bersih dan sederhana rupanya itu menunjukkan bahwa ia seorang yang suci dan baik hati. Parasnya baik, badannya kuat, bagus, dan sehat. Tiada lama
berjalan mereka keduapun sampailah ke pasar. Didapatinya orang sudah banyak dan permainan sepak raga tidak lama lagi akan dimulai.
Adapun pasar di kampung itu terletak di tepi jalan besar. Pada seberang jalan di muka pasar, berderet beberapa buah rumah dan lepau nasi. Di belakang rumah-rumah itu mengalir
sebuah sungai, Pasar itu diramaikan hanya sekali sepekan, yaitu tiap-tiap hari Jumat. Itu pun ramainya hanya hingga tengah hari saja. Oleh sebab itu, segala dangau-dangau diangkat
orang. Tetapi dangau-dangau yang sebelah ke tepi pasar dibiarkan tertegak. Gunanya ialah untuk orang musafir atau siapa saja yang suka bermalam di situ, atau untuk berlindung daripada panas akan melepaskan lelah dalam perjalanan dan lain lain sebagainya. Lain. daripada hari Jumat, pasar itu dipergunakan orang juga untuk bermain sepak raga, rapat negeri, dan lain-lain.
...( bersambung )
Sensara Membawa Nikmat
 Bab Bermain Sepak Raga
Oleh
Tulis Sutan Sati

Minggu, Februari 06, 2011

hari pertama kerja

Aku terbangun dan memulai
Untuk mendengarkan teriakan
Seekor burung hantu lusuh, dari tempat nan jauh.
Tapi entah apa, entah sesuatu. Menunggu di kaki tempat tidur ku
Seolah-olah menunggu aku bangun
Dari semua penderitaan.
"Ayo, mari kita pergi "
Dia bilang dengan suara dingin,
mengabaikan mata mengantuk saya.
"Ayo, sebelum cahaya fajar atas hidup kita,
Mari kita mengubur kenangan kita "
Aku menyelinap kembali ke tidur saya
Sementara ia masih bergumam sesuatu.
O..ya hari ini aku harus pergi kerja

Jumat, Januari 28, 2011

Cerita Tragis

Pagi itu,‎ entah mengapa angin terasa lebih dingin dari pada biasanya. Seakan akan menghipnotis dan merayu bujang bujang hingga mereka takmau melepas kemesraan bersama selimut selimut jelita yang menggoda mereka dengan mimpi mimpi indah. Begitu pula halnya dengan Fiad, pemuda itu tersentak dari rayuan angin surganya.
" ala mak, terlambat kiranya aku ni!!!!" gunyamnya seraya bergegas mengganti pakaiyannya.
Tak cukup waktu lama ia telah mengenakan celana sampai kaos oblongnya, tak lama kemudian iapun berlari ke arah motornya setelah memungut rompi reflektor dan helm sefety kuning yang baru saja ia terima kemarin, yang ia terima kemarin saat ia menandatangani surat kontrak kerja sebagai blast hand di sebuah contraktor peledakan. "Jangan lupanya, saudara sekalian besok kami jemput di halte simpang kacang pagi, jam setengah enam!" kata kata itu seakan terus bergema di setiap sisi didalam rongga kepalanya
bagaikan dikejar setan dia menyeret dan menggas motor sogun karatannya. dari tikungan sampai tikungan selanjutnya ia lewati tampa sedetik pun ia menurunkan kenurunkan kecepatan motor bututnya. hingga sampai di jembatan jepang. jembatan tua tersebut sebenarnya sama sekali tak bernama, cuma karena jembatan tersebut selesai di masa penjajahan jepang, maka bernama pula lah akhirnya jembatan itu. namun kononnya disana pula lah tepat serdadu nipon mencelup para pejuang ekstrimis bangsa kita. maka tak mengherankan bila kisah kisah berbau mistik selalu menghiasi jembatan bercat putih tersebut. namun Fiad tetap tak peduli pada puluhan cerita hantu tersebut, dan tetap melaju dengan kecepatan penuh.
ketika ia telah sampai di tengah jembatan tersebut, tiba tiba saja sebuah cahaya melaju kencang ke arahnya. tersentak iapun reflek ia membanting stang motornya ke kiri. namun hal itu membuat motornya terpelanting ke tepi jembatan. pertama tama ia menghantam pilar baja penyangga jembatan, lalu terpelanting lagi hingga jatuh ke sungai, dan tersangkut di tiang jebatan tersebut.
darahnya tak berhenti mengalir dari pahanya yang robek, begitu pula dengan luka di kepalanya, darahnya seakan tak pernah kering, karena langsung larut bersama air sungai. ia pun berteriak minta tolong, panik mengharap ada yang mendengarkannya. namun akhirnya ia pun melemah, kesadarannya pelan pelan hilang, iapun hanyut dan tak pernah ditemukan.

Minggu, Agustus 22, 2010

|¿?|(belum ada judul)

Ku tak pernah menguji
ku tak pernah memuji
ataupun mencaci
dirimu...

Aku tak bisa berjanji
namun, dalam diam ku ini
hanya dirimu menghiasi hati
entah akan sampai nanti?

Tolong...
Jangan buat ku patah hati
lagi dan lagi
engkau mati
di hati ini
cukuplah sekali
rasa ini

Senin, Agustus 09, 2010

Rule Of Thumb

Celakanya
cinta ini makin gila
mengharap memilikinya
bidadari sorga
mesti aku manusia biasa
yang penuh hina
dengam segala coba coba
menarik hatinya
Powered By Blogger